No Other Choice

No Other Choice, Cermin Kelam Manusia di Era Digital

No Other Choice, Cermin Kelam Manusia di Era Digital
No Other Choice, Cermin Kelam Manusia di Era Digital

JAKARTA - Ada alasan kuat mengapa Korea Selatan menunjuk No Other Choice sebagai wakil resmi ke ajang Oscar 2026 untuk kategori Best International Feature Film. Film garapan Park Chan-wook ini bukan sekadar drama thriller sosial, tetapi juga cermin tajam atas realitas modern: ketika manusia dipaksa memilih antara moral dan bertahan hidup di tengah perubahan zaman.

Park Chan-wook, bersama tiga penulis lain — Don McKellar, Lee Kyoung-mi, dan Lee Ja-hye — menulis naskah berdasarkan novel “The Ax” (1997) karya Donald Westlake. Cerita ini bukan hanya menggambarkan akibat dari kehilangan pekerjaan, melainkan juga menggali sisi paling purba dari manusia: naluri bertahan hidup di dunia yang semakin tidak berperasaan.

Dampak Revolusi Industri yang Tak Pernah Usai

Film ini berfokus pada kisah Yoo Man-soo (Lee Byung-hun), seorang karyawan senior yang dipecat akibat efisiensi dan mekanisasi. Dari situ, No Other Choice menyingkap betapa mahal harga yang harus dibayar manusia setiap kali revolusi industri bergulir.

Sejak abad ke-18 hingga kini, setiap lompatan teknologi selalu membawa korban. Ada pekerja yang kehilangan mata pencaharian, keluarga yang dilanda ketidakpastian, anak-anak yang mimpi masa depannya tergadaikan, hingga mereka yang akhirnya menempuh jalan ekstrem hanya demi bertahan.

Park Chan-wook menyoroti bagaimana Revolusi Industri 4.0 — era di mana AI, Internet of Things (IoT), dan otomasi digital mendominasi — melahirkan pertempuran baru antara manusia dan ciptaan mereka sendiri. Siapa pun yang tak sanggup beradaptasi akan tersingkir, dan dalam konteks inilah, film ini menemukan relevansinya di masa kini.

Pertarungan Nurani dan Ambisi: Ketika Moralitas Diuji

Lewat karakter Man-soo, Park menampilkan dilema klasik: apakah manusia akan mempertahankan moralitasnya, atau mengorbankannya demi kelangsungan hidup?
Film ini menyoroti dua kubu manusia di tengah perubahan besar:

Mereka yang menyerah pada arus zaman, menganggap teknologi hanyalah pelengkap kehidupan, bukan pengganti manusia.

Dan mereka yang melawan dengan segala cara, bahkan harus meninggalkan nurani agar tidak tersingkir.

Park menggambarkan kelompok kedua ini dengan cara yang gelap, tapi juga tragis. Mereka bukan jahat, hanya terdesak. Dan dalam kondisi itu, seperti judulnya, No Other Choice — memang tak ada pilihan lain.

Naskah Padat, Humor Hitam, dan Ketegangan yang Melelahkan

Seperti banyak karya Park Chan-wook sebelumnya, film ini memadukan ketegangan, tragedi, dan humor hitam. Ia dan tim penulis dengan cermat meramu unsur thriller yang intens tanpa kehilangan ruang untuk tawa getir. Komedi yang muncul tidak pernah jatuh ke dalam slapstick; justru menjadi jeda yang dibutuhkan di tengah narasi yang penuh tekanan.

Namun begitu, tak semua bagian berjalan mulus. Park terkesan terlalu bermain-main dengan pengambilan gambar dan tempo penceritaan, hingga beberapa babak terasa bertele-tele. Beberapa adegan yang mengikuti perjalanan Man-soo setelah dipecat sebenarnya bisa dibuat lebih ringkas tanpa mengurangi makna.

Meski demikian, upaya Park untuk memperlihatkan transformasi moral karakter utamanya tetap berhasil. Kamera dan komposisi warna yang dramatis memperkuat suasana depresi dan absurditas yang dialami Man-soo.

Lee Byung-hun dan Son Ye-jin, Duet yang Menggigit

Penampilan Lee Byung-hun menjadi kekuatan utama film ini. Ia mampu menyalurkan kegelisahan, kegilaan, dan keputusasaan Man-soo dengan luar biasa. Dalam satu momen, ia bisa tampak rapuh; di momen lain, ia menjadi sosok menakutkan yang didorong ke ambang batas.

Sementara itu, Son Ye-jin sebagai sang istri, Lee Miri, tampil meyakinkan. Chemistry keduanya yang pada awalnya terasa ganjil justru berkembang menjadi kolaborasi kuat — bukan hanya sebagai pasangan suami istri, tapi juga partner in crime yang tragis.

Penampilan pendukung seperti Lee Sung-min (Gu Bummo) dan Yeom Hye-ran (Lee Ara) menambah lapisan emosi dan tensi dalam cerita. Adegan mereka bersama Lee Byung-hun bahkan menjadi salah satu bagian paling kuat dari film ini, lebih menarik ketimbang interaksinya dengan Park Hee-soon (Choi Seon-chul).

Antara Parasite dan Realitas Kekinian

Tak sedikit yang membandingkan No Other Choice dengan Parasite (2019) karya Bong Joon-ho. Keduanya memang sama-sama menyoroti kesenjangan sosial-ekonomi, tapi dengan pendekatan berbeda.

Jika Parasite menampar penonton lewat potret brutal tentang jurang kelas, maka No Other Choice memilih menggali sisi psikologis: apa yang membuat seseorang tega melakukan hal-hal tak terbayangkan demi bertahan.

Namun, justru karena memilih pendekatan yang lebih dingin dan reflektif, No Other Choice kehilangan sedikit emotional punch yang dimiliki Parasite. Alih-alih membuat penonton marah terhadap sistem, film ini membuat penonton merenung — bahwa mungkin, di posisi yang sama, kita juga tak akan bertindak jauh berbeda.

Sebuah Cermin, Bukan Sekadar Cerita

Meski beberapa bagian terasa lambat, No Other Choice tetap merupakan karya yang relevan, tajam, dan berani. Ia bukan film yang hanya ingin menghibur, melainkan menghadirkan pertanyaan moral yang mengguncang: sampai sejauh mana manusia rela berkorban agar tetap dianggap “berguna” oleh dunia yang terus berubah?

Sebagai representasi Korea Selatan di Oscar 2026, film ini bukan hanya membawa kebanggaan nasional, tapi juga pesan universal — bahwa di tengah derasnya laju teknologi, kita semua sedang berjuang melawan hal yang sama: kehilangan kemanusiaan kita sendiri.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index